Perempuan Api
oleh: Swistien
Kustantyana
Dia melenguh. Sebentar kemudian mengerang pelan. Secepat
kilat aku berpendar. Menjadi debu. Untuk kemudian menjadi diriku lagi. Saat dia
membuka mata, aku sudah tersenyum. Ditatapnya aku dengan pandangan memuja,
"Kamu hebat sekali."
Dan kujawab manja, "tentu saja."
Aku Perempuan Api. Anak dua bongkah batu yang sengaja
dipertemukan. Mereka bercinta. Lalu lahirlah aku. Percikan Api. Paman Angin
datang. Mengambilku. Membesarkanku. Hingga aku jadi seorang perempuan dewasa.
Perempuan Api.
Tak ada yang pernah tahu tentang hal ini. Tentu saja selain
Ayah Batu, Bunda Batu dan Paman Angin. Bahkan semua laki-laki yang pernah
kutiduri. Karena mereka terlalu sibuk memejamkan mata sebelum mengerang pelan.
Mereka bodoh sekali.
* * *
Kepalaku berdenyut. Kupejamkan mataku dan menyandarkan
punggungku ke kursi. Lalu suara itu datang. Suara Andreas. Siapa lagi.
"Kamu hebat sekali," tatapannya menyiratkan beribu
kekaguman untukku.
Aku membuka mata sebentar, "terimakasih," lalu
menutup mataku lagi.
"Jadi kapan lagi kita bercinta?" tersirat banyak
harap dalam suaranya.
Aku tidak langsung membuka mata. Mengutuk Andreas sebentar
dalam hati. Menyesal rasanya mengajaknya tidur. Sekarang dia seperti anjing
yang berharap bisa menikmati daging segar secepatnya.
"Dengar Andreas, tidak akan ada lagi lain kali. Itu
yang pertama dan terakhir. Mengerti?"
Andreas terpekur. "Apakah aku tidak cukup hebat?"
suara memelasnya betul-betul mengingatkanku pada dengkingan anjing kecil saat
lapar.
"Bukan itu, Andreas. Kamu juga hebat. Tapi apakah aku
tidak terlalu tua untukmu?" aku mendesah. Senjata pamungkasku tentang umur
sudah kugunakan. Semoga Andreas yang tujuh tahun lebih muda dariku bisa
menerimanya.
"Itu tidak masalah buatku," tangkis Andreas cepat.
Aku mendesah. Aku benci jika percakapan seperti ini terjadi.
Dan aku lebih benci jika harus menyatakan kebenaran yang hanya akan
menyakitinya.
"Andreas, dengar," aku menatap mata Andreas untuk
menunjukkan bahwa aku serius dengan apa yang akan kuucapkan. "Aku sedang
mencari calon suami. Kamu bisa jadi pacar yang hebat. Tapi kamu belum siap jadi
calon suami hebat, bukan?"
Andreas balas menatapku. Bibirnya berkedut ingin mengatakan
sesuatu. Tapi, syukurlah, dia hanya berkata, "Oke," dan kemudian melangkah
pergi.
Hebat. Satu masalah telah selesai. Tapi kepalaku tak juga
berhenti berdenyut. Hpku berdering. Satu sms masuk. Alex.
Baby, wanna sleep with me tonight? Sms Alex,
laki-laki Indo itu.
No. Badly need some rest. Sorry. - sent.
Belum lagi report dari mengirim sms untuk Alex
datang, Hpku berdering lagi. Aku mendesah. Di layar Hpku tertera Izra.
"Halo," sapaku tidak bersemangat.
"Hai, Pi. Kau ada acara nanti malam? Mau ke Hard Rock
bersamaku?" suara Izra ceria sekali.
Bilang saja mau tidur sama aku. Aku mendengus kesal.
"Maaf, Izra. Aku lelah sekali."
"Oh."
"Sudah ya."
Aku tidak memberikan Izra kesempatan untuk bicara lagi.
Sekarang aku merasa benar-benar lelah. Aspirin sama sekali tidak membantuku
kali ini.
Tiga laki-laki dalam waktu belasan menit. Semuanya mengajak
tidur. Dan kepala yang tidak juga berhenti berdenyut. Hebat. Hebat. Hebat.
* * *
Namaku Asmara Pikandria. Aku selalu menuliskannya A.Pi sejak
aku bisa menulis untuk pertama kalinya. Hampir semua orang memanggilku Pikan.
Hanya beberapa yang memanggil Pi. Aku tak keberatan. Apa saja. Selama itu
ditujukan untukku.
Umurku awal tiga puluhan. Karirku cemerlang. Dan aku bahagia
dengan hidupku seandainya saja orang tuaku tidak selalu menanyakan "Kapan
kamu menikah?" setiap hari, minimal tiga kali.
Aku pun gerah. Sindiran Ibu setiap kali aku pulang ke rumah
selalu berhasil membuat wajahku memerah. Dan kadang aku bisa menjadi begitu
marah. Bukan berarti tidak ada laki-laki yang mau menikahiku. Jujur saja,
banyak. Wajahku lumayan. Aku pintar. Karirku cemerlang. Apa lagi coba yang
diinginkan seorang laki-laki dari seorang calon istri?
Oh ya, satu lagi. Satu nilai tambah untukku sebagai seorang
calon istri yang didambakan seorang laki-laki. I'm good in bed. Itu kata semua laki-laki yang pernah kutiduri.
Tentu saja. Sudah kubilang sejak awal. Boleh percaya, boleh
tidak. Aku Perempuan Api. Dua benda yang akan sangat berbahaya jika disatukan.
Perempuan mempunyai kekuatan yang sangat gila untuk menghancurkan seorang
laki-laki. Dan api, dia akan mampu menghanguskan apapun yang mengusiknya. Dan
aku Perempuan Api. Jika laki-laki itu cukup cerdas, dia tak akan berani
menyentuhku. Terlalu berbahaya. Tapi sepertinya, dalam hal ini, jarang sekali
ada laki-laki yang cukup cerdas, bukan? Aku bahkan belum pernah menemui salah
satu diantaranya.
"Kapan kamu akan menikah, Pi?" suara Ibu terdengar
dari dapur.
Aku meletakkan sendokku di atas piring. Rasa laparku menguap
entah ke mana mendengar pertanyaan Ibu yang sama untuk kesekian kalinya.
"Secepatnya," jawaban yang selalu sama yang
terlontar dari mulutku.
"Secepatnya itu kapan?" percakapan usang yang
selalu terulang.
"Ya secepatnya, kalau ada laki-laki yang melamar
Pikan."
"Ah, dulu si Adit itu sudah melamarmu. Tapi kau tolak
lamarannya. Bahkan kamu sampai berbohong kalau kamu itu bertunangan dengan
orang lain. Dan sekarang lihat, Pikan. Adit sudah sukses, punya rumah, punya
dua anak. Nah sedangkan kamu, pacar saja tidak punya."
Ceramah Ibu versi Adit, mantanku, selalu berulang. Minimal
satu kali setiap aku pulang ke rumah Ibu.
Bosan? Tentu saja. Tapi toh aku tidak bisa melakukan apapun.
Yang bisa kulakukan hanyalah menelan semua yang dikatakan Ibu dan berharap
tidak akan muntah karenanya.
"Pi lelah. Pi mau tidur saja," kalimat sama yang
selalu kugunakan saat aku sudah tidak tahan dengan Ibu.
"Ingat, Pi. Cepatlah cari suami. Umurmu sudah lebih
dari tiga puluh," suara Ibu masih bisa kudengar hingga pintu kamarku
berdebam.
Astaga. Ibu paling rajin mengingatkan umurku. Seperti aku
tidak bisa mengingat umurku sendiri saja. Apa sih yang salah dengan umur tiga
puluhan? Aku heran setengah mati. Selalu saja orang tua membandingkan dengan
keadaan saat mereka muda dulu.
"Ibu saja menikah saat Ibu dua puluh tahun, Pi."
informasi yang sama yang selalu diulang selama tiga tahun terakhir ini. Dan
yang bisa kulakukan hanyalah memutar bola mata saat Ibu tidak melihat. Kurang
ajar memang. Tapi daripada aku membalas Ibu, "Ya, iyalah. Ibu kan tidak
kuliah." Itu lebih kurang ajar, kan? Bisa-bisa aku langsung jadi anak
durhaka.
Bukannya aku tidak mau menikah. Bukan. Aku masih perempuan
normal yang ingin membentuk sebuah keluarga bahagia. Dan sepertinya, mempunyai
seorang suami yang bisa diajak bercinta setiap hari itu menyenangkan, bukan?
Aku pun sudah berusaha. Dengan berpacaran misalnya. Tapi kalau memang tidak
jodoh, mau bagaimana lagi? Tapi Ibu tidak pernah mau mengerti.
Dan ada satu hal yang tidak bisa kujelaskan pada Ibu. Satu
ramalan besar dalam hidupku. Tentu saja tentang pernikahan. Diramalkan aku akan
menikah dengan seorang laki-laki yang tidak menutup matanya saat orgasme.
Terdengar gila. Tapi aku percaya.
Masalahnya adalah bagaimana aku akan menemukan jodoh ajaibku
itu? Tidak mungkin dengan menanyai satu-satu semua laki-laki di seluruh penjuru
negeri ini.
"Hai. Aku Pikan. Asmara Pikandria. Kamu tutup mata
tidak saat orgasme?"
Tidak mungkin seperti itu. Bisa-bisa aku kena tampar nanti.
Satu-satunya cara adalah dengan mengajak secara acak
laki-laki untuk tidur bersama. Hal yang sangat mudah karena tidak ada laki-laki
yang menolak. Awalnya aku sangat bersemangat. Untuk membuktikan ramalan itu dan
tentunya untuk membuat Ibu diam. Tapi baru tiga laki-laki dan aku mulai bosan.
Karena mereka semua menutup mata.
Laki-laki pertama – Alex
Suaranya yang seksi membuatku berpikir dia pasti tidak
menutup mata saat bercinta. Tapi aku salah total. Kami bercinta di hotel
berbintang lima di tengah kota. Yang bisa dilakukannya adalah mengerang dan
menutup mata sepanjang waktu. Dan yang paling membuatku tidak tahan, erangannya
mengingatkanku pada film-film porno Amerika Selatan.
"You are great, Baby," Alex menghujaniku
dengan tatapan memuja.
Aku tersenyum. "Well, you are not," kataku
dalam hati.
Ingin sekali aku lari dari Alex, laki-laki pertama yang
kucurigai bisa menjadi suamiku suatu hari nanti. Dan aku harus memaki berkali-kali karena dia
menahanku malam ini. Di hotel yang sebesar ini. Dan dia menutup mata sekali
lagi.
Laki-laki kedua – Izra
Aku menemukannya di jajaran rak-rak buku di Gramedia.
Kupikir dia belum pernah bercinta karena penampilannya begitu santun. Tapi aku
salah sekali lagi. Dia ahli bercinta. Melebihi Alex si laki-laki selatan itu.
Setidaknya erangannya tidak membuatku mengernyit jijik.
"Kamu manis sekali," Izra memandangku lembut.
Aku tersanjung. Hanya Izra yang bilang begitu. Manis instead
of hebat.
Tapi kemudian aku kecewa. Aku sudah berharap banyak pada
Izra. Berharap dia tidak akan menutup mata. Harapanku pun sia-sia.
Laki-laki ketiga – Andreas
Dia yang paling muda di antara semuanya. Aku memilihnya
ketika aku sudah mulai putus asa. Dan kupikir dia akan menjadi seseorang yang
berbeda. Karena ini pengalamannya yang pertama.
"Ini akan menjadi yang pertama," katanya saat
berhenti menciumiku untuk beberapa saat.
"Ya...," aku tidak tahu harus berkomentar apa.
"Kau harus membuatnya berkesan. Membuatku puas,"
katanya lagi.
"Wew. Cari saja pelacur. Murah kok,"
keinginanku untuk bercinta lenyap begitu saja.
"Tidak mau," dia menciumiku lagi.
"Dasar pelit," makiku dalam hati.
Andreas tidak sehebat Izra. Tidak seburuk Alex. Biasa saja.
Tapi sama seperti yang lainnya, dia menutup mata.
Tiga laki-laki dan aku sudah merasa bosan. Maka kuputuskan
untuk berhenti. Sebentar saja.
* * *
Gedung ini begitu besar. Ruangan ini begitu luas. Begitu
banyak orang. Semua itu membuatku pusing. Sore ini Lupi dan Hardha mengajakku
ke sebuah pameran komputer dan buku terbesar di Jakarta. Aku tidak begitu suka
sebetulnya. Karena bingung mau lihat apa. Bagiku, semua laptop terlihat sama.
Tidak seperti Lupi yang sudah menggumamkan kata 'keren' entah untuk yang
keberapa kalinya saat dia melihat jajaran laptop kinclong di sepanjang meja.
Aku bosan. "Kita berpisah saja. Aku ingin melihat
buku," kataku pada Lupi dan Hardha. Berjuta-juta buku di area pameran jauh
lebih menarik menurutku.
Kami pun berpisah. Aku melangkahkan kakiku menembus
kerumunan orang ke area pameran buku sebelum aku mati bosan. Dan beberapa
langkah kemudian, aku tidak menyesal.
Bumi sempat berhenti berotasi saat kulihat laki-laki itu.
Dia berjaket hitam dan menenteng kamera. Dia begitu menarik. Dia bisa membuatku
terpana hingga aku tak jadi melihat buku. Dia lebih menarik dari jutaan buku
itu. Dan aku memilih untuk duduk di sini, mengamati laki-laki yang membuat
bumiku berhenti berotasi.
"Kau mengenalku?" tiba-tiba dia ada di depan
mataku.
Aku tergeragap. "Mmm, sepertinya tidak. Kenapa?"
"Dari tadi kulihat kau memandangiku," katanya
sambil memberiku pandangan menyelidik.
Cengiran muncul di wajahku. Ingin sekali kujawab,
"karena kamu begitu menarik, Bodoh."
"Kenapa nyengir? Ada yang salah?" dia mengambil
tempat duduk di sebelahku.
Hore! Aku bersorak girang dalam hati.
"Tidak. Maaf. Mungkin karena kamu mirip seseorang yang
kukenal," aku memasang mimik serius.
"Mantanmu ya?" tebaknya.
"Iya. Mantan suami.
Minggu lalu dia menculik anak kami," ujarku. Mimik seriusku tetap
kupasang. Malah kubuat lebih serius dari tadi.
Dia terperanjat. Dan aku tergelak.
Setelah itu dunia menjadi milik kami.
* * *
Laki-laki yang sempat membuat bumiku berhenti berotasi itu
bernama Bara Putra Dewa. Aku senang
bukan kepalang. Dia bara dan aku api. Bara dan A.Pi.
Sempurna, bukan? Aku yakin seratus persen dia adalah jodohku. Laki-laki yang
akan kunikahi, yang akan kuajak bercinta setiap malam nanti. Aku begitu yakin.
Bahkan sebelum aku mengajaknya bercinta. Sebelum aku yakin dia tidak akan
menutup mata.
Aku menelepon Ibu, secepatnya setelah pulang dari pameran
komputer dan buku itu.
"Pi akan menikah!" seruku girang.
"APA?" teriak Ibu.
"PI AKAN MENIKAH!" aku ikut berteriak.
"YANG BENAR?" Ibu masih berteriak.
"Iyaaaa Ibuuu.... Namanya Bara Putra Dewa. Dia akan
menikahi Asmara Pikandria. Tralala lalala...," aku begitu bahagia.
* * *
Aku dan Bara memutuskan untuk bertemu lagi di hotel bintang
tiga di pinggir kota. Pertemuan kami sederhana. Dan yang paling membuatku
bahagia, dia tidak menutup mata. Sama sekali tidak menutup mata. Sempurna. Aku
senang bukan kepalang.
Aku tak sempat berpendar. Aku tak sempat menjadi debu.
Karena dia selalu memandangku. Dengan tatapan biasa. Bukan memuja. Dan dia
membuatku mengerang pelan. Menggigit lengannya saat sudah berada di atas awan.
Benar-benar sempurna.
Aku membelai rambutnya yang halus. Berusaha menenangkan
hatiku yang sibuk kegirangan. Cintaku berserak kemana-mana sekarang.
"Bara, maukah kau menikah denganku?" terlalu
cepat, tapi aku tak bisa menunggu lagi. Dia jodohku dan harus dipastikan
sekarang.
Bara memandangku. Sejenak. Kemudian, "Kamu memang
sangat menggairahkan, Pikan. Tapi ada satu hal yang sebetulnya tidak bisa kujelaskan
padamu. Satu ramalan besar dalam hidupku. Tentu saja tentang pernikahan.
Diramalkan aku akan menikah dengan seorang perempuan yang tidak menggigitku
saat orgasme. Terdengar gila. Tapi aku percaya."
Sial.
Jakarta (ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta^^). Dec 12,
2009. 2:37p.m.
.
.
.
.
.
.
.
Rupanya aku rindu kamu, sahabatku... 2009 kamu tuliskan cerita itu untukku... Kapan kita bisa bercerita gila lagi sahabatku... Bertukar ide gila... Tuliskan lagi cerita untukku ya, kutunggu kiriman emailmu lagi dalam mimpiku... Tin, aku rindu... Sumpah!
nice .. sepertiny belum slsai critanya..
BalasHapus